Rumah di Bawah Jalan
Oleh: Kang Rik-rik


Kredit: derumah.com

Garut, Juli 1972.

Bagi sebagian orang, rumah bercat putih bukanlah hal yang aneh. Itu hanyalah tak lebih dari sekedar bangunan biasa. Selain karena di sudutnya ada beberapa pot kuping gajah yang meneduhkan mata. Rumah yang akan diceritakan di sini juga memiliki sisi lain yang sayang untuk dilewatkan.


Di belakang rumah ada dua kolam ikan berukuran besar. Airnya jernih, dan suasananya pun amboi nian. Beberapa orang kadang terlihat sedang memancing ikan di sana.

Kadang anak dari Kodir pun sering terlihat memancing belut di pinggir kolam. Biasanya itu dilakukannya ketika pagi sedang hangat-hangatnya. Jika orang-orang lewat tak jauh darinya, anak Pak Kodir hanya melirik sesekali, tak lebih dari itu.

Letak rumah yang unik juga membuat rumah itu semakin menarik untuk terus diceritakan. Kalau kita bisa sedikit membayangkan kondisi lembah yang sempit, rumah tersebut tak jauh berbeda dengan itu. Di atasnya jalan raya membentang dari kanan ke kiri. Banyak penumpang angkutan umum yang hilir mudik. Sementara di bagian terendah--di bawah jalan--rumah tersebut terlihat begitu menyendiri. Hanya beberapa petak sawah dan kolam yang berada di sekitarnya. Tak heran kalau orang harus berjalan menuruni sedikit gundukan tanah untuk sampai ke rumah ini.

Kondisi di dalam rumah penuh oleh beberapa orang. Sekalipun putra Kodir hanya satu, rupanya banyak anak dari saudara-saudaranya ikut bermukim di rumah tersebut. Bahkan ada yang sedari kecil sudah hidup bersama di sini. Mulai dari menumpang makan, mandi, tidur sampai berangkat ke sekolah. Mereka semua sebaya dengan anak Kodir. Semuanya berumur sekitar belasan tahun.

Tak heran jika mendengar semua anak-anak saudaranya menggunakan kata “Pak” untuk memanggil dirinya. Karena memang sedari kecil mereka sudah terbiasa memanggilnya dengan sebutan seperti itu. Secara tidak sadar mereka meniru apa yang disuarakan oleh anaknya sendiri.

***

Kredit: derumah.com

Jika libur sudah tiba. Suasana rumah di bawah jalan itu akan berubah menjadi semakin ramai. Banyak sanak saudara dari Kodir coba datang ke rumah tersebut. Tak peduli itu berasal dari kalangan manapun. Semua tumpah ruah, ada di dalam rumah.

“Jadi, kapan kau akan berkunjung lagi ke Tasik, Mad,” tanya saudara dekatnya, Mardu, “orang-orang di sana sudah rindu terhadap kambing kirimanmu.” Mardu tertawa ringan.

Kodir ikut tersenyum mendengar ucapan saudaranya tersebut. Kemudian ia coba membenarkan posisi duduk dan mengencangkan sarungnya.

“Minggu depan. Insya Allah aku akan kembali berangkat ke Tasik,” katanya seraya menghisap rokok kretek, “bagaimana kabar yang lainnya di Gang Suren?”

“Alhamdulillah, sehat wal’afiat,” Mardi menimpali, “kabarnya Karim juga sudah mau lulus S2 sekarang. Do’anya saja, semoga ia dilancarkan semua urusannya.”

Kodir manggut-manggut.

“Bilang sama anakmu,” katanya kemudian, “sekolah yang benar. Jangan lupa juga, gali terus ilmu agama. Karena biar bagaimana pun, si Karim masih memerlukan itu.”

Hari-hari libur memang sering jadi momen yang pas untuk saudara-saudaranya. Mereka tak hanya berkunjung dan berbagi cerita di rumah itu. Kadang mereka juga berbagi cerita mengenai anak-anaknya. Mulai dari pendidikan sampai pola didik yang harus diterapkan untuk anak-anak mereka. Semua diceritakan saudara-saudaranya kepada Kodir. Intinya, Kodir selalu dijadikan panutan oleh saudara-saudaranya dalam berbagai urusan.

***

Kredit: derumah.com

Garut, Agustus 1972.

Kodir terlihat keluar dari rumahnya yang bercat putih. Setelah melangkah beberapa langkah ke arah pot kuping gajah di luar, ia kembali mendekat ke arah pintu rumah. Kemudian ia menguncinya dengan cukup yakin. Sesekali ia menarik pintu, memastikan kalau pintu sudah benar-benar terkunci.

Anaknya dan anak-anak saudaranya yang lain sudah bergerombol di luar. Begitupun dengan keluarga besarnya yang lain.

Rupa-rupanya hari ini Kodir dan keluarga besarnya hendak pergi ke kota Tasik. Janjinya kepada Mardu minggu lalu kini coba ditepatinya.

Selanjutnya sudah bisa ditebak. Dua mobil 4848 yang akan dinaiki berhenti tepat di hadapan mereka. Tanpa perlu dikomando lagi, keluarga besarnya langsung masuk ke dalam mobil. Menempati tempat duduknya masing-masing.

Hanya Kodir yang belum sempat masuk. Ia mencoba memandang ke belakang, lalu berkeliling, memandangi sekitarnya. Takut kalau-kalau ada orang yang ketinggalan.

Merasa semuanya sudah terkendali, Kodir segera masuk paling terakhir ke dalam mobil. Lalu dengan derunya yang khas. Kedua mobil tersebut melesat menjauh ke arah kota Tasik. Meninggalkan rumahnya yang berada tepat di bawah jalan.

***

Kredit: derumah.com

Kodir hanya seorang duda satu anak. Hanya saja ia memiliki keluarga yang tidak sedikit. Ada banyak anak-anak saudaranya yang ia pikir harus ia urus.

Begitu pun ketika ia sedang berada di Tasik, kota kelahirannya. Ia tak pernah sekalipun berkunjung ke kota itu bersama istrinya. Istrinya sendiri sudah lama berpisah dengan dirinya, kini istrinya telah jauh berada di tempat yang berbeda. Hanya keluarga besarnya yang selalu menyertai ia ketika ia berkunjung ke kota Tasikmalaya.

“Hey, Mad. Rupanya kau menepati janjimu untuk datang sekarang,” Mardu mengasongkan tangannya kepada Kodir. Ia menyalami saudaranya tersebut dengan sumringah, “bagaimana dengan kambingnya, sudah siap? Jujur saja, kami sekeluarga sudah menantikan kau beberapa hari belakangan ini.”

“Urusan kambing bisa diatur, urus saja oleh anak-anak. Mereka bisa membelinya di terminal Pancasila. Seperti biasa, mereka bisa menyemblihnya di depan mesjid,” jawab Kodir, “sudahlah, aku butuh air panas sekarang. Ada oleh-oleh kopi dari Garut.”

“Kau tengok saja lah sendiri di dalam,” timpal Mardu, “tadi pagi airnya masih panas. Cek saja termosnya. Dan untuk gelasnya kau bisa mencarinya di sudut dapur.”

Keluarga Kodir, sekali pergi ke Tasik jarang hanya bermalam satu atau dua hari. Pasti lebih dari itu. Itupun mereka datang berombong. Tiap-tiap dari mereka menginap di rmah saudara terdekat. Kebetulan, desa yang mereka singgahi memang memiliki keterkaitan darah dengan Kodir, istilahnya, satu desa satu rumpun.

Kodir menyodorkan kopi yang baru saja ia seduh. Satu untuk Mardu dan satu gelas kopi untuk dirinya sendiri, ia taruh di hadapannya. Tampak asapnya mengepul begitu pelan.

“Aku mau tanya, kapan rencananya kau akan segera menikahkan putramu. Aku pikir dia sudah cukup usia untuk segera menikah.”

“Sudahlah, Mardu,” jawab Kodir, “aku tak akan menikahkannya dengan gadis dari desa ini. Biarkan saja ia yang memilih. Lagipula ia juga kelihatan belum begitu memikirkan soal pernikahan.”

“Gadis di desa ini masih memiliki hubungan kekerabatan dengannya, Mad. Akan lebih mudah bagi kita untuk menjaga tali silaturahim jika kita menikahkannya dengan gadis di tempat ini.”

“Bicarakan saja itu dengan Abah, biar Abah yang menjawab itu semua. Akan lebih adil kiranya jika Abah yang menjawab soal itu. Ia kan yang dituakan di desa ini. Posisinya bagiku ia adalah sebagai Pak De. Keputusannya jauh akan lebih matang dibanding dengan keputusanku.”

“Lupakan Abah, Mad,” Mardu sedikit membantah, “jangan libatkan Abah dalam persoalan ini. Jika aku mau, bahkan aku rela kalau menikahkan anak perempuanku dengan putramu.”

Kredit: derumah.com

Tak ada yang bisa menghalangi Mardu dalam persoalan ini. Ia kelihatan sekali sangat ingin menjodohkan anak Kodir dengan perempuan-perempuan di desanya. Entah apa motifnya. Yang jelas, ia hanya beralasan kalau itu akan tetap menjaga hubungan mereka, sebagai sesama kerabat.

Lain halnya dengan Kodir. Ia sendiri tampak mematung. Kopi di dekatnya pun tak sekalipun ia sentuh. Kopi masih tetap ia biarkan begitu saja, mengepul dan tetap hangat. Kiranya, ia betul-betul sangat memikirkan perkara ini dengan sedikit serius.

“Begini saja, sekarang putramu ikut denganmu juga kan, Mad?” tanya Mardu.

Kodir mengangguk, kemudian ia menjawab:

“Ia biasa bermalam di rumah Mat Hasim,” jawab Kodir seperlunya.

“Bagaimana kalau nanti kau panggil saja putramu kemari...” Mardu menyeruput kopinya, “biarkan saja ia yang memberikan keputusan. Apakah ia sudah siap untuk menikah atau belum. Kalaupun ia mau menikah dengan empat perempuan sekaligus, itu akan tetap aku ijinkan, aku serius. Ia hanya tinggal memilih.”

“Mardu... Mardu... Jadi kau mengajakku ke Tasik bukan semata hanya karena kambing saja heh?” Kodir menyeruput kopinya untuk pertama kali, “kalau memang itu niatmu, kenapa kau tak bilang saja saat kau berada di Garut. Di rumahku akan jauh lebih enak membicarakan hal seperti ini.”

Memang benar apa yang dikatakan oleh Kodir. Rasa-rasanya akan lebih nyaman jika ia membicarakan itu semua di Garut. Rumahnya cenderung jauh dari tetangga, hanya sebatas jalan raya yang berada tepat di atas rumahnya. Dan untuk pembicaraan semacam ini, itu jauh akan lebih aman dari pendengaran para tetangga, jika itu memang dibicarakan di rumahnya.

Bukan rahasia lagi, kalau dari dulu orang tua para gadis di desa tempat Mardu tinggal sekarang, sangat menginginkan putra Kodir untuk menikahi anak mereka dan menjadi bagian dari keluarga mereka. Mereka tak peduli, apakah anaknya dijadikan istri yang pertama atau kedua, yang jelas, mereka benar-benar tak peduli.

Konon, semuanya bermula saat seorang ahli supranatural meramalkan sesuatu terhadap putra Kodir. Ia mengatakan, kelak putra Kodir akan menurunkan banyak anak. Tak hanya itu, ia juga menambahkan, kalau tiap anak yang dilahirkan oleh anaknya Kodir juga akan dilimpahi oleh karunia dan kekayaan yang luar biasa. Kalaupun kekayaan seluruh orang di desa dikumpulkan, itu tak akan pernah menyamai kekayaan dari keturunan anaknya Kodir kelak, begitu katanya.

Sejak saat itulah satu desa ramai-ramai menawarkan diri untuk menjadi besan Kodir. Alasannya klasik, mereka mengatakan kalau itu untuk mempererat tali silaturahim dan menjaga hubungan kekerabatan. Memang begitulah jadinya, kalau manusia sudah terlanjur mencintai dunia dan percaya pada hal-hal berbau supranatural, pikir Kodir.

Perbincangannya siang itu dengan Mardu terus berlanjut. Mereka berdua seolah lupa mengenai acara potong kambing yang akan digelar besok. Masing-masing sibuk dengan argumen dan pikirannya. Mardu sibuk meyakinkan Kodir untuk mau menikahkan anaknya denga gadis dari desa. Sementara Kodir, ia kelihatan lebih banyak diam dan sibuk memikirkan bagaimana caranya mengelak dari setiap pernyataan yang dilontarkan oleh Mardu.

“Sudahlah,” Kodir berusaha mengakhiri, “begini saja. Mengenai perkara ini, bagaimana kalau bulan depan kau datang ke rumahku saja. Biar nanti kita bicarakan segalanya di rumah. Sekalian aku libatkan putraku. Biarkan saja ia yang akan mengambil keputusan mengenai hal ini. Bagaimana, Mardu?”

“Baiklah kalau itu memang maumu, Mad,” ia menatap ke arah Kodir, kemudian tersenyum.

***

Kredit: derumah.com

Rumah di bawah jalan kembali ramai dikunjungi oleh kerabat-kerabat Kodir.

Satu per satu datang menemui Kodir. Ada di antara mereka yang juga menemui putranya Kodir, yang sekarang sedang duduk tidak jauh dari posisi Kodir.

Masing-masing dari sanak saudara yang lain nampak sibuk merencanakan dan mempersiapkan sesuatu. Ada yang sibuk melayani setiap tamu yang datang, ada pula yang sibuk membereskan kursi-kursi tempat tamu duduk. Tak jarang, di antara saudara Kodir pun banyak yang hanya terlihat diam membisu. Tak mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutnya. Mereka tertunduk lesu. Termasuk Mardu.

Ah, rupanya Tuhan berkehendak agar dunia bercerita lain. Acara walimahan yang niatnya hendak digelar Mardu, urung dibuat. Semua berkumpul tak lain hanya karena Kodir telah meninggalkan dunia untuk selama-lamanya. Tepat di rumahnya yang berada di bawah jalan.

Hari itu putranya terlihat tegar, ia mengerti, ada maksud Tuhan di balik ini semua. Berbeda dengan putranya, Mardu terlihat sangat terpukul, wajahnya tertunduk lesu. Apa boleh buat, acara yang dimaksudkan untuk menjodohkan putrinya benar-benar urung dilakukan.

“Hari ini aku enggan untuk memberikan keputusan mengenai rencana pernikahanku,” beberapa jam yang lalu anak Kodir angkat bicara, “aku ingin agar aku memberikan perhatian lebih kepada Bapak. Baik itu terhadap jenazahnya maupun terhadap kondisi ia di alam kubur nanti. Jadi, ijinkan dulu aku untuk membujang beberapa tahun. Akan lebih senang bagiku jika beberapa tahun tersebut aku mengirimi Bapak dengan do’a yang tak kunjung putus,” begitu katanya.

Pagi itu dengan terpaksa Mardu mengiyakan. Ia masih punya hati, tak ingin rasanya ia menyinggung perasaan putra Kodir. Dalam hati, ia hanya bisa bergumam:

“Kodir... Kodir... kenapa begitu cepat kau merampungkan semua perkara duniawi.[]


~Rik's

Tidak ada komentar: