Dua Jalur yang Berbeda
Oleh: Kang Rik-rik

Kredit: tfavretto.devianart.com

Si Kardun bukanlah anak yang bodoh. Ia cukup pintar untuk ukuran anak seusianya. Di kelasnya pun ia dikenal menonjol dan memiliki otak yang berbeda dengan anak kebanyakan. Bisa dikata dia memang anak yang brilian dan cemerlang. Sekalipun ide-idenya terkadang sangat nyeleneh dan di luar logika.



Adapun mengenai namanya, itu bukanlah nama yang sebenarnya. Entah siapa nama aslinya. Hanya saja orang lebih sering memanggil ia dengan sebutan Si Kardun. Orang yang paham bahasa Arab mungkin tahu, itu hanyalah plesetan dari sebutan Kirdun. Hingga sering-seringlah orang menyebut ia dengan nama plesetan itu. Hari demi hari kian menyigi, jadilah ia seorang yang disebut Si Kardun. Entah sejak kapan ia menerima panggilan tersebut.

Hari itu di kelasnya sedang berlangsung pelajaran matematika. Semua orang takut dengan mata pelajaran yang satu ini. Bukan karena matematika bergigi tajam atau semacamnya, orang takut hanya karena matematika lebih ampuh untuk membuat mereka pusing dibanding dengan obat kadaluarsa manapun.

Sudah jadi rahasia umum, kalau guru-guru di sekolahnya enggan untuk melontarkan pertanyaan lebih dulu kepada Si Kardun. Begitupun dengan hari ini, guru matematikanya memberikan pertanyaan hanya kepada teman-teman Si Kardun. Bukannya jijik atau tak sudi, guru-gurunya tahu, kalau lah Si Kardun diberi pertanyaan lebih awal, habislah nantinya perkara soal. Justru karena itu, guru matematikanya yang sekarang, ingin agar murid-murid yang lain juga mampu menjawab pertanyaan yang ia lontarkan. Bukan hanya Si Kardun.

Syahdan, hari itu tak ada satu pun murid yang mampu menjawab pertanyaan dari guru matematika tersebut. Tinggal Si Kardun yang tersisa. Sengaja, dari tadi ia disisakan paling akhir oleh gurunya. Bijaklah tujuannya, biar nantinya Si Kardun tak hanya mampu menjawab pertanyaan, tapi sekaligus juga memberikan penjelasan kepada seluruh murid yang ada di kelas.

“Itu soal yang mudah, Bu. Bukannya aku menyombong diri,” jawab Si Kardun ketika ia ditanya gurunya, “hanya dalam beberapa detik, pertanyaan Ibu akan langsung aku jawab. Tanpa harus berpikir lama.”

“Kalau begitu segeralah jawab. Beri pula penjelasan yang logis. Agar murid-murid yang lain paham dan mengerti,” gurunya menimpali.

Dengan sigap Si Kardun segera beranjak ke depan kelas. Ia mengambil kapur dan segera menuliskan penjelasan mengenai soal matematika yang diberikan gurunya. Tentu saja, penjelasannya yang cepat dan tepat membuat semua murid di sana geleng-geleng kepala karenanya. Tapi nama-namanya anak sekolahan. Ketika Si Kardun memberikan penjelasan dengan cukup jelas pun, masih saja ada yang bego tak karuan, meskipun memang ada di antara mereka yang cukup mengerti.

Kredit: tfavretto.devianart.com
Hari itu berjalan seperti biasa, sekolahan bermula dari pagi sampai Dzuhur. Dan ketika Dzuhur telah sampai, semua murid bubar mengakhiri semua rutinitas akademik yang bagi kebanyakan mereka cukup memuakan.

Seperti biasa pula, di antara gerombolan murid-murid yang keluar dari kelas dan hendak berpulang, Si Kardun jadi buah bibir karena kecerdasannya barusan. Semua murid menyanjung dirinya dengan gaya bahasa mereka masing-masing.

“Gila, itu soal susahnya memang teramat sangat. Salutnya, Si Kardun bisa menyelesaikan itu semua, seolah ia tak kena pikir,” salah satu teman sekelasnya bercerita ke temannya yang lain.

“Heran memang kalau kita lihat Si Kardun. Entah apa yang ada di kepalanya, kita pusingnya minta ampun jawab pertanyaan tadi. Nah ini, anteng aja dia jawabnya. Heran...” yang lainnya ikut berkomentar.

Macam-macam sanjungan hari itu meluncur deras dari mulut kawan-kawan Si Kardun. Seolah tak ada iri dan dengki dari hati mereka. Si Kardun tahu itu, kawan-kawannya memang secara refleks mengatakan itu semua. Tak ada yang dipaksakan.

***

Ada dua kejadian yang hari itu terjadi dengan bersamaan di kelas Si Kardun. Pertama, adalah mengenai guru tata boga, yang memberi mereka tugas untuk sesegara mungkin menyelesaikan ujian prakteknya di hari itu juga. Mata pelajaran yang semua orang tahu, bahwa itu merupakan pelajaran yang membahas semua tentang kuliner dan seluk beluknya. Dan di hari tersebut, semua murid akan beramai-ramai melakukan ujian praktek. Lebih tepatnya memasak dan meracik makanan sesuai dengan instruksi guru mereka, kemudian diadakan penilaian.

Kedua, adalah jatuh cintanya Si Kardun terhadap gadis satu kelas. Entah kenapa hari itu Si Kardun tidak begitu berselera terhadap praktek memasak yang sebentar lagi akan dilakukan. Biasanya ia pula yang paling depan dalam hal meracik dan mencicipi makanan. Mungkin saja ini semua ada hubungannya dengan hal tersebut.

Kejadian nomor dua memang terdengar konyol. Tapi hari itu, semua memang benar kenyataan. Untungnya tidak ada seorang pun yang tahu mengenai isi hati Si Kardun. Yang jelas, mengenai ketertarikannya terhadap Jumairah hanya ia seorang dan Tuhan yang tahu. Tidak lebih.

Ketika Si Kardun jatuh cinta terhadap Jumairah, gadis paling cantik di kelasnya, jam baru saja menunjukan pukul 9 pagi. Matahari sedang hangat-hangatnya, memberikan penerangan dan menembus ke tiap-tiap jendela kelas. Pagi itu, partikel kecil yang berterbangan dapat dengan mudah dijumpai pada setiap sorotan cahaya matahari.

Kredit: tfavretto.devianart.com
Adapun mengenai Jumairah, ia adalah gadis yang terkenal cantik di kelas. Kulitnya putih mulus laiknya susu. Matanya berbinar bening dan meneduhkan. Habislah kata-kata kalau gadis itu terus diumbar kemolekan tubuhnya, bukan bermaksud melebih-lebihkan. Memang pantas kalau Si Kardun harus jatuh cinta terhadap dirinya.

Tak ada ruang lebih bagi Si Kardun untuk terus mendambakan Jumairah. Pagi itu ia sudah dituntut oleh kelompok masaknya untuk sesegera mungkin menyelesaikan masakan. Sebab sebentar lagi ujian praktek tata boga akan habis tenggang waktunya, tinggal beberapa jam lagi.

Hari itu Si Kardun ditugaskan untuk menyiapkan wadah yang diperlukan, yang nantinya akan dijadikan wadah dari makanan yang sedang mereka buat. Tanpa perlu berlama-lama lagi, sudah sedari pagi Si Kardun menyiapkan itu semua. Tak perlu repot.

“Wadahnya besar, cukup untuk menampung beberapa porsi makanan buat nanti,” Si Kardun meletakannya di atas meja, yang sudah mereka desain sedemikian rupa.

Meja sekolahan berukuran relatif kecil. Namun hari itu, meja sekolahan tidak lagi kecil, para murid telah menyatukan empat meja menjadi satu meja, lengkap dengan taplaknya yang beraneka warna.

“Bagus sekali kerja kau. Kami benar-benar butuh wadah dengan ukuran seperti itu, geser sedikit ke kiri, beri ruang untuk meletakan wadah yang lain,” salah satu temannya menimpali, dengan sedikit memberi pengarahan.

Asal tahu saja, wadah yang dibawa Si Kardun hari itu memang berukuran lumayan besar. Ukurannya kira-kira sebanding dengan baskom kecil. Wadah tersebut seringkali digunakan oleh Ibunya di rumah untuk kegiatan masak memasak. Bahkan lebih dari itu, Ibunya seolah sangat tidak mau kehilangan wadah kesayangannya itu.

Singkat cerita, ujian praktek tata boga telah selesai dilaksanakan. Guru telah mengecap tiap-tiap masakan yang diracik oleh para murid. Ada macam-macam masakan yang dihidangkan. Entah kelompok masak mana di hari tersebut yang mendapatkan penilaian tertinggi. Lagipula Si Kardun tidak mau dipusingkan dengan hal seperti itu.

Jika di awal hari ada dua kejadian sekaligus. Di akhir ujian praktek tata boga pun ada dua kejadian yang juga terjadi dalam waktu bersamaan. Keduanya sangat berkesan sekaligus memusingkan Si Kardun. Karena hal ini lah Si Kardun tidak mau terlalu ambil pusing mengenai penilaian gurunya terhadap kelompok masaknya. Ia lebih sudi memikirkan dua kejadian ini ketimbang penilaian.

Paling berkesan adalah ketika ia berhasil mengajak Jumairah berbincang. Modusnya sederhana saja, tadi ia menyempatkan diri untuk mencicipi masakan kelompok masaknya Jumairah.

“Aku hanya mau coba. Bukan mau curi-curi makanan, hanya untuk perbandingan. Enak mana, antara masakan kelompokku dengan kelompok kalian,” Si Kardun mencoba memberi alasan.

Hebatnya lagi, Si Kardun berhasil mengajak Jumairah untuk sekedar berbincang. Si Kardun seolah tak mau untuk singgah ke kelompok masaknya Jumairah, hanya untuk mencicipi makanan. Dan ternyata, tujuannya cukup berhasil hari itu. Ia telah cukup lama berbincang dengan Jumairah, gadis dambaan hatinya. Padahal semua orang tahu, kalau gadis tersebut terkenal susah untuk diajak bicara. Tersebab orangnya memang pendiam.

Kredit: tfavretto.devianart.com
Lupakan masalah keberhasilan yang direngkuh oleh Si Kardun. Sekalipun ia memang berhasil memikat Jumairah di hari itu, ia juga tak lupa, ada satu hal lain yang cukup memusingkan kepala. Tak lain dan tak bukan itu karena wadah yang sebelumnya ia bawa dari rumah, sekarang telah pecah tak karuan. Belingnya berserakan dimana-mana. Sungguh tak mengenakan untuk dilihat.

Semua bermula saat Si Kardun hendak membersihkan wadahnya tersebut dari remah-remah makanan. Karena pada saat itu ujian praktek memang telah berada di penghujung waktu. Semua makanan telah dikecap oleh guru dan telah disikat habis oleh setiap murid. Namun entah kenapa, tiba-tiba saja seorang temannya dengan tak sengaja menyenggol dirinya. Sontak saja hal tersebut membuat wadah yang dipegangnya terjatuh. Wadah yang ia pegang tiada berbentuk lagi. Kepingan belingnya telah memastikan, kalau wadah tersebut benar-benar tak dapat dipungut lagi.

Benar-benar cemas Si Kardun dibuatnya. Apalagi ia tahu kalau wadah itu merupakan benda kesayangan Ibunya sendiri. Hilang akal hilang rasa, hendak apa yang harus diperbuat pun ia tak tahu lagi. Ia tak lagi dapat membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya di rumah, sepulang ia sekolah.

Di satu sisi, hari itu Si Kardun merengkuh kebahagiaan, ia bisa mengobrol leluasa dengan Jumairah. Gadis yang dikenal cantik dan pendiam. Tapi di sisi lain Si Kardun mendapat masalah yang cukup berat. Perkara wadah yang pecah seolah membuatnya enggan untuk berpulang ke rumah. Ia tahu, seperti apa tabiat Ibunya. Marah lah sudah kalau nanti Ibunya tahu, bahwa wadah kesayangannya tengah pecah dan tak dapat dikembalikan seperti sedia kala.

***

Siang itu suara turaes nyaring terdengar. Maklum saja, kemarau memang sedang asyik-asyiknya melanda setiap sudut desa. Dedaunan hanya sesekali saja bergoyang, itupun kalau tertiup angin yang cukup kencang. Selebihnya, dedaunan hanya akan terdiam dipanggang sinar matahari.

Si Kardun hari itu tengah duduk di bawah pohon nangka. Mimik mukanya seolah menggambarkan rasa penyesalan. Kalaupun mau ditelusuri lebih lanjut, adapula kesedihan yang nampak di wajahnya, tentu bercampur dengan gundah gulana yang juga tak kunjung hilang. Sudah beberapa hari Si Kardun begini terus. Penyebabnya memang tak jauh dari urusan wadah yang pecah dan Jumairah.

“Itu orang kok siang-siang begini gak ada kerjaan banget ya. Dari tadi planga-plongo terus di bawah pohon,” sekali waktu seorang yang lewat terdengar mengomentarinya.

“Si Kardun dari tadi susah diajak ngomong,” seorang temannya pun memberikan komentar senada.

Kredit: tfavretto.devianart.com
Beberapa hari ke belakang sungguh sangat menyedihkan baginya. Ibunya marah besar ketika mengetahui Si Kardun telah mengembalikan wadah dalam keadaan pecah. Tak dikira, hari itu juga Ibunya melontarkan perkataan yang cukup menyakitkan. Atau tepatnya boleh juga kalau itu disebut dengan sebutan “kutukan yang menyakitkan”. Kira-kira beginilah Ibunya melontarkan bentakannya:

“Dasar idiot bodoh! Tak berguna! Percuma kau dikenal cerdas dan brilian, kalau kau tak bisa menjaga amanah yang Emak titipkan,” Ibunya melotot, “menjaga wadah saja tak becus! Kau juga tahu sendiri, kalau itu merupakan warisan tujuh turunan. Bukan karena Emak cinta dunia, hanya saja Emak tak menyangka, karena kau benar-benar tak mampu untuk menjaga amanah, Kardun!”

“Kau ingat kan ketika kau akan mengembalikan wadah itu dalam keadaan utuh?” Emaknya melanjutkan, “kalau memang tak mampu mengembalikan wadah dalam ‘keadaan utuh’ janganlah berjanji manis. Cukup katakan saja kalau kau hanya akan mengembalikan wadahnya. Dengan itu Emak tak akan marah, sekalipun kau telah memecahkannya. Dasar idiot bodoh!”

Tak perlu waktu lama, setelah Emaknya mengatai Si Kardun dengan ucapan seperti itu, Si Kardun pun tak lagi dikenal sebagai orang yang berotak cemerlang dan cerdas. Hari itu, ucapan Emaknya benar-benar didengar Tuhan. Si Kardun telah benar-benar ditimpa kemalangan yang teramat sangat.

Hari itu pun ia enggan untuk berangkat ke sekolah. Dirinya lebih memilih berdiam diri di bawah pohon nangka. Karena kemarin pun, di sekolahnya ia dijadikan bahan tertawaan, tersebab sekarang ia tak bisa lagi menghitung dan membaca sebagaimana orang kebanyakan. Si Kardun benar-benar idiot dan bodoh. Hanya saja ia tak sampai jadi gila.

Dan mengenai Jumairah, itu jauh dari harapan. Si Kardun baru saja ditolak mentah-mentah oleh gadis tersebut. Alasannya sederhana, apalagi kalau bukan karena Si Kardun tak lagi berotak dan memiliki daya nalar yang bengkok.

“Dulu aku sungguh mengagumimu, kau begitu pandai dan patut untuk disebut sebagai bintang kelas. Tapi sekarang, aku sendiri heran kenapa kau bisa sebodoh ini. Orang bilang kau bisa sebodoh ini karena murka seorang Ibu. Jadi maaf saja, aku tak bisa menerima cintamu,” begitulah Jumairah merangkai kata-katanya dengan manis, tepat saat ia diminta jawaban dan kepastian oleh Si Kardun.

Bersamaan dengan suara turaes yang kian nyaring terdengar, dan kemarau yang semakin menjadi-jadi. Di bawah pohon nangka, Si Kardun hari itu tepekur memikirkan nasibnya yang teramat malang. Bukan hanya hari itu, untuk selamanya pun mungkin saja ia akan tetap seperti itu. Bodoh dan terkutuk.[]

~Rik's

Tidak ada komentar: